Tradisi dan Ritual, apakah itu?

Akhirnya setelah beberapa lama tidak menulis di blog ini, di sela-sela kegiatan saya paksakan untuk menulis. Bukan untuk apa, melainkan hanya sebagai pengingat kepada diri sendiri, syukur kalau tulisan ini bisa membantu anda sidang pembaca menjadi lebih baik hidupnya.

Di tengah banyaknya tradisi dan ritual yang sering saya jalani sebagai orang Indonesia, khusus nya sebagai orang Bali saya seringkali bertanya kepada diri sendiri dan kepada beberapa orang tua yang bersedia membuka diri untuk menampung pertanyaan anak-anak muda seperti saya, tentang tradisi dan ritual. Saya menyadari di setiap daerah memiliki tradisi dan ritual tersendiri yang sudah pasti unik. Dulu sewaktu masih anak-anak saat saya belum diharuskan untuk menghidupi diri sendiri setiap tradisi dan ritual yang "diwariskan" oleh para leluhur saya jalani dengan senang hati.

Tanpa  ingin menghakimi baik buruk tradisi dan ritual saya ingin menceritakan kembali sebuah cerita zen yang layak dijadikan bahan renungan mengenai tradisi. Saya tidak ingin menghakimi tradisi, apalagi memberi label benar atau salah, baik ataupun buruk karena saya sadar saya masih bisa seperti seperti sekarang dan pulau Bali yang sangat saya cintai ini masih bisa eksis seperti sekarang adalah salah satu peran dari tradisi. Coba bayangkan bila tidak ada tradisi di pulau Bali, bisa-bisa Bali akan kehilangan jati diri-nya dan bukan tidak mungkin akan ditinggalkan oleh wisatawan.

Di sebuah wihara tinggal-lah seorang biksu ketua yang belum memiliki terlalu banyak murid. Kegiatan di wihara itu sama seperti kegiatan di wihara-wihara lain. Nah, oleh sebab tempat wihara ini ditengah hutan beberapa kucing liar kerap mencari makanan sampai kedalam wihara, dan beberapa kali satu ekor kucing berhasil masuk keruangan tempat dimana para biksu berdoa dan melakukan pembabaran dharma. Pada awal-awal kucing masuk kedalam ruangan berdoa ini si biksu kepala tidak terlalu terganggu dengan kehadiran si kucing.. namun dari hari kehari kucing yang berhasil masuk ke dalam ruangan berdoa ini ulahnya semakin terasa mengganggu sehingga si kepala biksu dengan terpaksa mengikatnya terlebih dahulu sebelum memulai doa. Lama-kelamaan kegiatan si biksu kepala yang mengikat si kucing sebelum mulai berdoa menjadi kebiasaan, dan begitu saja terus sampai jumlah murid-muridnya semakin banyak.

Begitu saja terus sampai jumlah murid di wihara semakin banyak, setiap akan memulai doa karena takut si kucing akan mengganggu jalannya doa si biksu kepala selalu mengikat si kucing di salah satu tiang dalam ruangan.

Sampai akhirnya si biksu kepala pun wafat, dan kegiatan doa pimpin oleh biksu senior. Untuk menghormati si almarhum biksu kepala, biksu senior tidak mengusir si kucing yang selalu masuk kedalam ruangan doa melainkan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan biksu kepala, mengikat si kucing di salah satu tiang dalam ruangan. Belakangan karena kebaikan hati umat, wihara ini membuat  beberapa wihara lain dan menjadikan para biksu senior sebagai kepala biaranya. Jadilah di wihara ini hanya ditempati oleh biksu-biksu muda. Beberapa tahun kemudian si kucing pun meninggal, namun apa yang terjadi adalah si biksu muda ini karena melihat biksu senior yang selalu mengikat kucing pada salah satu tiang di ruangan saat doa berlangsung juga melakukan hal sama dengan cara mencari kucing baru untuk diikat pada salah satu tiang di ruangan doa, begitu saja terus turun temurun.

Tradisi dan ritual juga begitu, generasi berikutnya hanya melanjutkan tanpa benar-benar tahu apa makna dari kegiatan yang dilakukan dan kenapa dilakukan.

bagaimana dengan tradisi anda apakah sudah membantu menjadikan cara idup  ideal?  

        sumber gambar : www.boombastis.com
Previous
Next Post »